Oleh: Siti Sevi Baini, Mahasiswa Semester 1 Mata Kuliah Bahasa iIdonesia Fakultas Hukum Prodi Ilmu Hukum
TANGERANGNEWS.com-Disahkannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terbaru melalui Undang -Undang Nomor 1 Tahun 2023 menandai langkah penting dalam perubahan hukum di negara ini. Salah satu hal yang banyak dibicarakan adalah Pasal 412 ayat (1), yang melarang hidup bersama sebagai pasangan tanpa menikah secara sah. Aturan ini, yang akan mulai berlaku pada 2 Januari 2026, termasuk dalam kategori delik aduan, sehingga hanya dapat ditegakkan jika ada laporan dari pihak-pihak tertentu seperti orang tua, anak, atau pasangan.
Meskipun ada beberapa orang, terutama dari kalangan muda atau yang dikenal sebagai Gen Z yang mengekspresikan ketidaksetujuan dengan argument kebebasan pribadi dan hak atas privasi, sangat penting untuk melihat aturan ini dengan lebih menyeluruh. Dalam konteks sosial Indonesia yang memiliki karakter religius yang kuat serta nilai-nilai keluarga yang mendalam, larangan untuk tinggal bersama tidak hanya berfungsi sebagai alat pembatas saja, tetapi juga mencerminkan interaksi antara hukum, etika, dan perkembangan sosial masyarakat.
Hukum sebagai Cermin dan Penjaga Norma Sosial
Dalam perspektif hukum masa kini, hukum berperan tidak hanya sebagai alat yang mengatur tindakan, tetapi juga sebagai refleksi dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Indonesia, yang menjadikan keluarga sebagai dasar sosial penting, sangat menghargai stabilitas moral dan ketertiban sosial sebagai syarat untuk menjaga kesatuan masyarakat.
Fenomena hidup bersama tanpa pernikahan resmi (Living Together) merupakan perubahan sosial yang cukup baru di Indonesia. Sebagian masyarakat melihatnya sebagai bentuk kebebasan, namun negara memiliki kepentingan untuk memastikan bahwa perubahan ini tidak mengganggu tatanan nilai yang telah menjadi dasar kehidupan sosial.
Dengan menjadikan hidup bersama sebagai tindak pidana yang dapat dilaporkan, negara tidak berusaha melakukan kriminalisasi besar-besaran terhadap perilaku pribadi, tetapi memberikan kesempatan bagi keluarga untuk menjaga norma-norma internal mereka. Pendekatan ini menunjukkan bahwa regulasi tersebut bersifat seimbang dan responsif terhadap struktur sosial masyarakat Indonesia.
Agama dan Moralitas sebagai Basis Etika Publik
Berbeda dengan negara-negara yang menerapkan sekularisme ketat, Indonesia menjadikan agama sebagai salah satu dasar legitimasi moral dalam masyarakat. Nilai-nilai keagamaan di Indonesia diterima secara pribadi dan juga tercermin dalam kebijakan serta tindakan sosial rakyat.
Sebagian besar ajaran agama di negara ini menganggap bahwa hubungan suami istri seharusnya berlangsung dalam ikatan pernikahan yang sah. Pernikahan ini bukan hanya legal, tetapi juga memiliki makna spiritual dan moral. Dengan itu, larangan tinggal bersama dalam undang-undang baru tidak bisa dilihat hanya sebagai aspek hukum yang positif, melainkan sebagai penguatan nilai agama sebagai pedoman etika dalam kehidupan berbangsa.
Untuk itu, jelas bahwa adanya pasal ini bukanlah bentuk hukum yang konservatif, melainkan cerminan dari pandangan bersama masyarakat Indonesia tentang pentingnya menjaga martabat keluarga dan kesucian institusi pernikahan.
Dinamika Sosial dan Respons Generasi Muda
Penolakan yang muncul di kalangan generasi muda, terutama di antara Gen Z, harus dipahami dalam konteks perubahan sosial yang terjadi akibat pengaruh globalisasi budaya. Informasi yang mengalir dan nilai-nilai baru yang menekankan individualisme, kebebasan seksual, serta perubahan dalam hubungan sosial telah menciptakan pandangan baru terkait hubungan antarmanusia.
Akan tetapi, tidak semua nilai yang bersifat global bisa diterima sepenuhnya dalam masyarakat Indonesia yang memiliki keunikan sosial, budaya, dan agama yang berbeda. Berhati- hati dalam menerima perubahan norma-norma adalah bagian dari usaha untuk menjaga integritas sosial.
Dalam situasi ini, larangan untuk tinggal bersama berfungsi sebagai alat normatif yang menggarisbawahi bahwa kebebasan individu harus tetap diperhatikan dalam kerangka kepentingan sosial yang lebih luas. Keberadaan pasal ini berperan sebagai batasan simbolik yang menunjukkan bahwa tidak semua gaya hidup modern sesuai dengan nilai-nilai bangsa.
Pasal 412 sebagai Penyelesaian Normatif antara Kebebasan dan Ketertiban
Karakter delik aduan dalam pasal ini mencerminkan pendekatan yang seimbang, berusaha untuk memadukan dua nilai sekaligus: penghormatan kepada ruang pribadi dan perlindungan terhadap nilai-nilai keluarga. Negara tidak terlibat langsung dalam mengawasi tindakan individu, melainkan memberikan mekanisme hukum bagi keluarga yang merasa bahwa norma internal mereka telah dilanggar.
Oleh karena itu, Pasal 412 bukan hanya sekadar peraturan yang mengatur larangan, tetapi juga sebagai mekanisme hukum yang mempertahankan keseimbangan antara hak individu dan kepentingan masyarakat. Pembentukan ini selaras dengan prinsip-prinsip hukum progresif yang menempatkan manusia dan masyarakat sebagai fokus utama.
Penutupan: Memperkuat Identitas Sosial dan Moral Bangsa
Larangan tinggal bersama dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru mencerminkan usaha pemerintah untuk menekankan kembali nilai-nilai dasar yang berkaitan dengan moral publik, ketertiban sosial, dan integritas lembaga keluarga. Di tengah perubahan sosial yang terus menerus, hukum berperan penting untuk memastikan bahwa perubahan tersebut tidak melampaui batas nilai-nilai yang menjaga stabilitas bangsa.
Sebagai negara yang memiliki akar nilai-nilai agama dan etika keluarga, Indonesia memerlukan peraturan yang tidak hanya responsif terhadap perubahan zaman, tetapi juga sejalan dengan identitas moral kolektifnya. Oleh karena itu, keberadaan Pasal 412 dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru bukanlah upaya untuk menolak modernitas, tetapi tindakan positif untuk menjaga keberlanjutan nilai sosial yang telah menjadi dasar kehidupan masyarakat Indonesia.