Oleh: Fajrina Laeli, S.M., Aktivis Muslimah
TANGERANGNEWS.com-Pada Kamis pagi, 11 Desember 2025, para siswa SDN 01 Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara tengah menjalani kegiatan literasi dan berbaris rapi di lapangan sekolah. Segalanya tampak berjalan tenang seperti biasanya hingga ketenangan itu lenyap dalam satu detik. Sebuah mobil Makan Bergizi Gratis (MBG) tiba-tiba merengsek masuk, menerobos pagar sekolah, dan melaju ke arah barisan anak-anak. Pagi yang semula hangat oleh rutinitas sekolah berubah menjadi detik-detik menakutkan yang membekas dalam ingatan.
Hari itu tak lagi menjadi pagi yang biasa. Celotehan yang biasa terdengar berubah menjadi jerit kepanikan. Tubuh-tubuh kecil itu terpental. Sedikitnya 22 orang mengalami luka, termasuk seorang guru, beberapa di antaranya dalam kondisi berat (tempo.co, 12/11/2025). Di balik angka korban, tersisa trauma mendalam bagi yang menyaksikan langsung bagaimana teman mereka tergeletak tak berdaya.
Peristiwa ini bukan satu-satunya kontroversi yang menyelimuti program MBG. Sebelumnya, MBG telah menjadi sorotan publik karena serangkaian masalah lain. Sejak diluncurkan sebagai program prioritas nasional, MBG berkali-kali dikaitkan dengan insiden keracunan massal di berbagai daerah. Mengacu data BGN, dari total 11.640 penerima MBG yang terdampak, 636 orang dilaporkan menjalani rawat inap. Sementara 11.004 kasus 'hanya' rawat jalan (detik.com, 12/11/2025).
Sebelumnya, publik juga suguhi berbagai polemik yang menyelimuti program ini seperti tray yang mengandung minyak babi, masalah administrasi, hingga pernyataan bahwa MBG tidak memerlukan ahli gizi. Program yang diklaim sebagai investasi masa depan generasi bangsa justru berulang kali memperlihatkan rapuhnya tata kelola dan pengawasan di lapangan.
Situasi ini lalu membuka pertanyaan besar, sebetulnya seberapa efektifkah MBG, apabila di satu sisi program ini berulang kali menempatkan anak sebagai pihak terdampak buruknya kebijakan?
Persoalan lain yang tak kalah krusial adalah soal menu MBG yang berlabel “bergizi” tetapi patut dipertanyakan ketika di lapangan, sejumlah sekolah justru menerima menu yang jauh dari standar kecukupan gizi anak. Alhasil, MBG seolah hanya memenuhi kewajiban distribusi. Belum lagi soal sisa makanan berujung pada tumpukan sampah.
Dalam perspektif Islam, pemenuhan kebutuhan anak termasuk makanan yang aman dan bergizi bukan sekadar program kampanye, melainkan amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Islam menempatkan penguasa sebagai raa‘in (pengurus) yang wajib memastikan bahwa setiap kebijakan menyentuh kemaslahatan rakyat, bukan justru melahirkan mudarat.
Rasulullah bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” Prinsip ini menuntut negara memastikan makanan yang diberikan benar-benar layak, aman, dan bergizi berdasarkan standar yang jelas dan diawasi oleh ahli, bukan sekadar label administratif.
Daripada memberi makan gratis, negara justru akan menuntaskan masalah dari porosnya yaitu kemiskinan dan pengangguran. Negara menjadi penjamin terpenuhinya kebutuhan pokok setiap individu melalui mekanisme ekonomi yang adil termasuk penciptaan lapangan kerja. Ketika kepala keluarga memiliki pekerjaan dan penghasilan yang layak, maka kebutuhan makan dan gizi anak sejatinya telah terpenuhi secara alami di rumah, tanpa harus bergantung pada program makan di sekolah.
Negara justru bertanggung jawab memastikan pemenuhan akses kerja dengan upah yang cukup sehingga keluarga mampu menjalankan perannya memenuhi kebutuhan anak. Dalam kondisi seperti ini, negara tidak lagi sibuk mengatur menu, tray, atau distribusi makanan sekolah, karena fungsi utama pemenuhan gizi telah kembali ke tempat paling idealnya, yaitu keluarga. Sungguh hanya dengan Islam anak tak lagi menjadi tumbal kebijakan. Inilah solusi Islam yang menyentuh akar, bukan hanya menggunting ranting-ranting dampak kebijakan, melainkan fokus pada pemecahan masalah dasar. Wallahualam bissawab.