Oleh : Khikmawanto, Direktur Eksekutif Renaissance Institute dan Dosen Universitas Yuppentek Indonesia
TANGERANGNEWS.com-Demokrasi, dalam bayangan idealnya, adalah sistem yang hidup dari partisipasi, perdebatan, dan kebebasan. Ia seharusnya tumbuh subur dalam iklim di mana perbedaan pandangan dirayakan sebagai kekayaan, bukan ancaman. Namun, belakangan ini, kita disadarkan bahwa kematian demokrasi tidak selalu datang dari suara letusan senjata, kudeta militer yang dramatis, atau revolusi berdarah. Kematiannya bisa datang perlahan, dari dalam, melalui erosi hak-hak sipil, pembungkaman suara kritis, dan penyebaran ketakutan. Kasus yang menimpa Yogi Firmansyah, seorang penulis opini di media nasional yang diduga mengalami intimidasi setelah tulisannya terbit, adalah sebuah alarm, bukti nyata bahwa demokrasi kita sedang menghadapi ancaman yang lebih senyap namun tak kalah mematikan: ketakutan.
Nalar kritis adalah denyut nadi demokrasi. Tanpa kemampuan publik untuk menganalisis, mempertanyakan, dan menilai informasi, partisipasi hanya akan menjadi formalitas tanpa substansi. Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas melindungi hak atas kebebasan berpendapat (Pasal 28E ayat 3), yang bukan sekadar hak individu, melainkan juga instrumen kolektif untuk kontrol sosial dan akuntabilitas. Ini adalah jaminan konstitusional yang seharusnya menjadi perisai bagi setiap warga negara untuk menyampaikan pikirannya tanpa rasa takut. Namun, ketika hak ini terancam—baik melalui intimidasi fisik, tekanan psikologis, atau penggunaan pasal karet dalam undang-undang—maka fondasi demokrasi kita pun ikut goyah. Intimidasi terhadap penulis opini, atau bahkan jurnalis, adalah cerminan dari tantangan serius terhadap kebebasan pers dan kebebasan berekspresi yang seharusnya dijamin oleh konstitusi. Seorang penulis seharusnya tidak perlu merasa terancam atau takut setelah menyampaikan pandangannya, terutama yang berbasis analisis dan kritik konstruktif terhadap kebijakan publik, yang notabene adalah bagian dari upaya perbaikan sistem.
Dampak dari intimidasi semacam ini sangat merusak. Ia tidak hanya menyasar individu yang menjadi korban, melainkan juga menciptakan "efek dingin" (chilling effect) yang menyebar luas. Efek ini membungkam suara-suara lain, membuat individu akan berpikir dua kali untuk menyampaikan opini kritis karena takut akan konsekuensi serupa. Ruang opini publik, yang seharusnya menjadi arena debat gagasan dan pertukaran pandangan yang sehat, justru menjadi sunyi. Ruang ini kini menghadapi berbagai bentuk ancaman. Pertama, intimidasi langsung, seperti tekanan atau ancaman yang diberikan kepada penulis atau jurnalis setelah menyuarakan opini kritis. Kasus Yogi Firmansyah hanyalah satu contoh nyata dari fenomena yang lebih besar, di mana individu yang berani menyoroti kelemahan atau isu sensitif dihadapkan pada konsekuensi personal yang tidak menyenangkan. Ini adalah bentuk pembungkaman langsung yang secara fundamental merusak iklim kebebasan berekspresi.
Kedua, ada pemanfaatan hukum yang berlebihan, terutama yang merujuk pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), untuk membungkam kritik. Meskipun UU ITE dibuat dengan niat melindungi masyarakat dari kejahatan siber, interpretasi yang multitafsir dari beberapa pasalnya, seperti pencemaran nama baik, seringkali disalahgunakan untuk menyasar penulis opini yang kritis terhadap kebijakan atau individu berkuasa. Hal ini mengubah hukum menjadi alat penindasan alih-alih penegakan keadilan, menciptakan ketakutan di kalangan penulis dan publik yang ingin menyuarakan pandangan. Seperti yang Niccolò Machiavelli tulis dalam "The Prince", kekuasaan seringkali mempertahankan diri melalui berbagai cara, dan kita harus jeli melihat bagaimana instrumen hukum bisa menjadi salah satu di antaranya.
Daron Acemoglu dan James A. Robinson dalam buku mereka "Why Nations Fail" mengemukakan bahwa perbedaan antara negara maju dan terbelakang terletak pada institusi yang mereka miliki. Institusi ekstraktif, yang menguntungkan segelintir elit dan mengeksploitasi mayoritas, adalah resep menuju kemunduran. Pembungkaman opini dan kritik adalah ciri khas institusi ekstraktif, yang berusaha mempertahankan status quo demi kepentingan segelintir orang, bukan kemajuan bersama.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah bagaimana kematian demokrasi modern seringkali tidak tampak seperti yang kita bayangkan. Daniel Ziblatt dan Steven Levitsky, dalam buku seminal mereka "Matinya Demokrasi" (How Democracies Die), dengan tajam menggambarkan fenomena ini: "Demokrasi mungkin saja mati di tangan para pemimpin terpilih—pemimpin yang menghancurkan lembaga-lembaga yang secara diam-diam mengubah demokrasi menjadi otokrasi." Kutipan ini sangat relevan. Intimidasi terhadap suara kritis adalah bagian dari strategi untuk melemahkan lembaga-lembaga demokrasi—termasuk pers dan ruang opini publik—dari dalam. Itu adalah langkah awal menuju erosi sistem secara keseluruhan, bukan melalui kekuatan militer, tetapi melalui tekanan psikologis dan hukum yang melahirkan ketakutan.
Polarisasi ekstrem dan penggunaan ujaran kebencian juga turut berkontribusi pada penggerusan ruang dialog yang rasional. Ketika perdebatan publik didominasi oleh emosi, tuduhan, dan labelisasi, opini kritis yang bernalar sulit menemukan tempat. Suara-suara yang mencoba menawarkan perspektif berbeda seringkali dicap sebagai musuh, sehingga menghambat terciptanya solusi konstruktif. Dampak jangka panjang dari pembungkaman opini—baik langsung maupun tidak langsung—sangatlah merugikan. Ini tidak hanya melumpuhkan kemampuan masyarakat untuk belajar, beradaptasi, dan berinovasi, tetapi juga membuat kebijakan publik menjadi kurang teruji, dan potensi masalah tersembunyi tidak terungkap, merugikan kita semua dalam jangka panjang.
Panggilan Kolektif untuk Memperkuat Ruang Opini Publik
Merawat nalar kritis berarti memastikan individu memiliki keberanian dan kapasitas untuk mempertanyakan otoritas, bukan dengan menolak secara membabi buta, melainkan dengan menuntut transparansi dan akuntabilitas. Ia juga berarti kemampuan membedakan fakta dan opini di tengah derasnya arus informasi, serta berargumen secara rasional berdasarkan data dan logika, bukan emosi atau prasangka. Pada akhirnya, ini adalah tentang membangun resiliensi terhadap tekanan, baik dari mayoritas, otoritas, maupun kelompok kepentingan, agar suara kebenaran dapat terus disuarakan.
Perlindungan ruang opini publik dan perawatan nalar kritis bukanlah tanggung jawab satu pihak saja; ini adalah panggilan kolektif yang mendesak. Pemerintah dan aparat penegak hukum memiliki peran fundamental untuk menegakkan hukum secara adil, memastikan undang-undang tidak disalahgunakan sebagai alat pembungkam, dan mengusut tuntas setiap kasus intimidasi terhadap penulis opini atau jurnalis. Pernyataan seperti saran dari Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan agar kasus intimidasi dilaporkan ke polisi harus diikuti dengan tindakan nyata yang transparan dan akuntabel, memberikan sinyal jelas bahwa intimidasi tidak akan ditoleransi.
Lembaga pers dan masyarakat sipil juga harus terus menyuarakan pentingnya kebebasan pers, memberikan perlindungan hukum dan moral bagi jurnalis serta penulis opini, dan mengedukasi publik tentang pentingnya nalar kritis. Kecaman dari Dewan Pers terhadap tindakan intimidasi menunjukkan peran krusial mereka dalam menjaga integritas profesi dan hak-hak konstitusional. Lebih lanjut, institusi pendidikan memiliki tanggung jawab besar untuk mengintegrasikan pendidikan nalar kritis sejak dini, membiasakan siswa untuk berpikir analitis dan berani menyatakan pendapat secara bertanggung jawab, sesuai dengan etika dan batasan yang ada. Akhirnya, setiap individu di masyarakat juga memiliki peran aktif dalam mempraktikkan nalar kritis dalam kehidupan sehari-hari, tidak mudah terprovokasi oleh disinformasi, dan berani bersuara ketika melihat ketidakadilan, sambil tetap menjaga etika dan tanggung jawab dalam berekspresi.
Kasus Yogi Firmansyah adalah peringatan bahwa kebebasan berpendapat, meskipun dijamin konstitusi, tidak serta-merta aman dari ancaman. Merawat nalar kritis bukan hanya berarti melindungi hak untuk berbicara, tetapi juga memastikan kualitas dari apa yang diucapkan dan bagaimana ia diterima. Ini adalah investasi jangka panjang untuk masa depan demokrasi yang lebih matang, di mana setiap suara—terutama yang kritis dan konstruktif—dapat menemukan ruangnya tanpa ketakutan. Panggilan ini mendesak, dan masa depan ruang opini publik yang sehat ada di tangan kita semua. Demokrasi yang kuat bukan hanya tentang kotak suara, tetapi juga tentang seberapa leluasa masyarakat bisa berpendapat dan seberapa baik pemerintah mendengarkan.