Connect With Us

Darurat Sampah Tangerang Selatan: Kritik atas Kebijakan Setengah Hati dan Mendesaknya Solusi Berkelanjutan

Rangga Agung Zuliansyah | Senin, 22 Desember 2025 | 16:51

Azka Azizah Efendi, Mahasiswi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. (@TangerangNews / Rangga Agung Zuliansyah)

Oleh: Azka Azizah Efendi, Mahasiswi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

 

TANGERANGNEWS.com-Permasalahan sampah di Kota Tangerang Selatan (Tangsel) sedang menjadi sorotan publik. Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Tangsel, sampah harian di wilayah ini berkisar 1 hingga 1,1 ton perhari. Angka ini menunjukan tekanan nyata atas sistem pengelolaan sampah di kota yang terbatas.

Salah satu tempat pengelolaan sampah di Kota Tangsel, yaitu TPA Cipeucang mengalami kelebihan beban. Kapasitas dan umur layanan yang sudah tidak memadai, membuat TPA Cipeucang kewalahan dalam melakukan pengelolaan sampah. TPA ini tidak lagi mampu menjadi solusi atas permasalahan sampah di kota Tangerang Selatan. Ditambah lagi dengan kebijakan pengelolaan sampah yang masih cenderung berfokus pada pengangkutan dan pembuangan daripada mencegah dan mengurangi dari sumbernya, membuat permasalahan sampah semakin kompleks di Kota Tangerang Selatan ini. Hal ini kemudian meningkatkan kritikan tajam atas kebijakan yang ada.

Tangsel sebagai wilayah urban penyanggah Jakarta, sejatinya sudah memprediksi peningkatan volume sampah. Dengan pola konsumsi masyarakat perkotaan, pertumbuhan pemukiman, hingga tingginya aktivitas ekonomi merupakan faktor yang tak terhindarkan. Namun, seharusnya kebijakan publik tidak berjalan mengikuti arus masalah, namun harus jauh lebih maju mendahulu. Ketika produksi sampah terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, kemudian tidak dibarengi dengan arah kebijakan, maka permasalahan ini akan menjadi bom waktu.

Titik lemah kebijakan tata kelola sampah di Kota Tangerang Selatan ini adalah tidak optimalnya pengurangan sampah dari sumber. Data DLH menunjukkan bahwa lebih dari 50% sampah kota merupakan sampah organik, yang sejatinya dapat dikelola di tingkat rumah tangga, atau komunitas-komunitas dengan cara pengomposan. Namun, potensi ini tidak dimanfaatkan dengan baik. Ketergantungan pada TPA masih terlalu mendominasi, seolah kota Tangsel memiliki kapasitas yang tak terbatas dalam menerima sampah.

Program bank sampah dan pemilahan sampah rumah tangga memang telah diperkenalkan di berbagai wilayah. Namun, kontribusinya terhadap pengurangan tumpukan sampah masih relatif kecil, diperkirakan jumlahnya dibawah 10 persen dari total sampah harian. Angka ini menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat belum terbangun secara sistematik. Tanpa arahan yang jelas, berkelanjutan, dan terintegrasi dengan kebijakan, inisiatif masyarakat berisiko berhenti begitu saja.

Kemudian, minimnya transparansi kebijakan yang mengakibatkan rendahnya informasi yang diterima masyarakat mengenai target pengurangan sampah tahunan, proyeksi daya tampung TPA, maupun indikator keberhasilan program yang sedang berjalan. Padahal, dalam tata kelola pemerintahan modern, keterbukaan data bukan sekadar kewajiban administratif, melainkan prasyarat kepercayaan publik. Kebijakan yang tidak dipahami publik akan sulit mendapatkan dukungan luas.

Jika kebijakan pengelolaan sampah hanya berfokus pada memindahkan sampah dari rumah ke TPA, maka yang terjadi sebenarnya adalah pemindahan masalah, bukan penyelesaian masalah. Hal ini juga semakin menegaskan bahwa krisis sampah membutuhkan perubahan paradigma, bukan sekadar penambahan armada angkut.

Kemudian dampak nyata dari buruknya kebijakan ini tidak hanya dirasakan oleh masyarakat, namun pemerintah juga merasakan. Biaya operasional pengelolaan sampah terus meningkat setiap tahun, sementara ruang fiskal daerah terbatas. Jika tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, Tangsel berisiko terjebak dalam lingkaran biaya tinggi dengan hasil yang minim.

Meski demikian, kritik terhadap kebijakan pengelolaan sampah Tangsel harus diarahkan pada perbaikan yang realistis. Langkah pertama yang perlu dipercepat adalah penetapan target pengurangan sampah yang terukur dan transparan, misalnya pengurangan 20–30 persen dalam lima tahun. Target ini harus disertai peta jalan kebijakan yang jelas, mulai dari edukasi, penyediaan infrastruktur pemilahan, hingga mekanisme evaluasi tahunan.

Kedua, pemerintah daerah perlu memperkuat skema insentif ekonomi bagi masyarakat dan pelaku usaha yang terlibat dalam pengelolaan sampah. Bank sampah, unit pengolahan kompos, dan pelaku daur ulang harus diposisikan sebagai mitra strategis. Insentif berupa pengurangan retribusi, dukungan alat, atau akses pasar dapat mendorong keberlanjutan program. Tanpa insentif, partisipasi publik akan sulit bertahan dalam jangka panjang.

Ketiga, investasi teknologi pengolahan sampah perlu dilakukan secara selektif dan hati-hati. Teknologi seperti pengolahan RDF atau pengolahan organik skala menengah dapat menjadi alternatif, tetapi hanya jika didukung kajian kelayakan yang matang dan pengawasan yang ketat. Pengalaman sejumlah daerah menunjukkan bahwa teknologi tanpa kesiapan kelembagaan justru berpotensi menimbulkan persoalan baru. Kebijakan yang bijak adalah kebijakan yang tidak tergesa-gesa, tetapi juga tidak stagnan.

Keempat, kolaborasi lintas sektor harus diperkuat. Akademisi dapat berkontribusi melalui riset dan inovasi, sektor swasta melalui investasi dan teknologi, serta masyarakat sipil melalui pengawasan dan edukasi publik. Pemerintah daerah perlu berperan sebagai pengarah kebijakan yang memastikan seluruh aktor bergerak dalam satu visi yang sama.

Pada akhirnya, krisis sampah di Tangerang Selatan bukan hanya soal sampah itu sendiri, melainkan tentang keberanian kebijakan untuk berubah. Kritik yang disampaikan publik seharusnya dipahami sebagai dorongan untuk memperbaiki arah, bukan sebagai hambatan. Jika pemerintah daerah mampu mempercepat reformasi kebijakan, membuka ruang partisipasi, dan mengedepankan transparansi, maka Tangsel memiliki peluang nyata untuk keluar dari darurat sampah dan membangun tata kelola lingkungan yang lebih berkelanjutan.

 

REFERENSI

Badan Pusat Statistik Kota Tangerang Selatan. (2024). Kota Tangerang Selatan dalam angka 2024. BPS Kota Tangerang Selatan.

Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang Selatan. (2023). Laporan kinerja pengelolaan sampah Kota Tangerang Selatan. Pemerintah Kota Tangerang Selatan.

Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang Selatan. (2024). Data timbulan dan pengelolaan sampah Kota Tangerang Selatan. Pemerintah Kota Tangerang Selatan.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. (2021). Kebijakan dan strategi nasional pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga. KLHK RI.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.

MANCANEGARA
Zohran Mamdani Diproyeksikan Jadi Wali Kota Muslim Pertama di New York 

Zohran Mamdani Diproyeksikan Jadi Wali Kota Muslim Pertama di New York 

Rabu, 5 November 2025 | 12:34

Nama Zohran Mamdani menjadi sorotan dunia usai hasil proyeksi pemilu menunjukkan dirinya unggul jauh dalam pemilihan Wali Kota New York.

TEKNO
Apa Itu Ethereum Fusaka? Ini Penjelasan yang Mudah Dipahami

Apa Itu Ethereum Fusaka? Ini Penjelasan yang Mudah Dipahami

Kamis, 4 Desember 2025 | 21:54

Fusaka pada dasarnya adalah peningkatan teknis yang mengubah cara data diproses di dalam jaringan Ethereum.

HIBURAN
5 Alasan Angka Perceraian di Indonesia Makin Tinggi, Sebagian Dipengaruhi Sosmed

5 Alasan Angka Perceraian di Indonesia Makin Tinggi, Sebagian Dipengaruhi Sosmed

Kamis, 18 Desember 2025 | 20:20

Belakangan ini media sosial ramai diwarnai isu perceraian artis dan influencer. Alasannya beragam, mulai dari dugaan penipuan dan penggelapan uang, perselingkuhan, persoalan ekonomi, hingga konflik keluarga yang tak kunjung selesai.

""Kekuatan dan perkembangan datang hanya dari usaha dan perjuangan yang terus menerus""

Napoleon Hill