Oleh: Ahmad Syailendra, S.Sos., Pegiat Pemilu
TANGERANGNEWS.com-Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 terkait pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal menimbulkan friksi pemaknaan putusan yang sudah di keluarkan oleh MK. Dengan semangat perubahan sistem pemilu yang sudah berjalan dua periode pemilu serentak nasional, sejak pemilu tahun 2019 dengan berbagai macam dampaknya hingga pemilu tahun 2024.
Meminjam istilah metode pembelajaran mendalam (Deep Learning), pendekatan ini berupaya menciptakan suasana belajar yang berkesadaran, bermakna dan menggembirakan, serta mendorong siswa untuk mampu menerapkan pengetahuan dalam situasi nyata. Realitas yang terjadi selama pemilu dua periode yang sudah berlangsung menimbulkan dampak mudharatnya yang lebih banyak.
Secara mendalam MK memutuskan tentu sudah dengan melihat Capaian, Tujuan dan Alur (CTA) Pemilu dan Pilkada yang sudah berlangsung, hingga harus ada evaluasi yang harus di lakukan oleh para pemangku kepentingan. Melihat capaian rezim pemilu dan pilkada, pemilu nasional lebih stabil dari sisi partisipasi aktif masyarakatnya, berbeda dengan Pilkada mengalami trend sebaliknya. Meskipun tujuan di laksanakannya pemisahan pemilu dan pilkada sudah sangat baik, hanya saja alurnya dari sisi waktu bisa di perbaiki menjadi pemilu nasional dan lokal.
Alur inilah yang di lihat oleh MK sebagai cara untuk membuat sistem yang mampu memberikan kontribusi nyata lebih bermakna untuk perubahan sistem pemilu nasional dan lokal, untuk pencapaian tujuan proses demokrasi electoral. Dalam amar putusannya MK menilai bahwa pemisahan pemilu nasional Presiden dan Wakil Presiden (PPWP), DPR RI dan DPD RI dan penggabungan Pemilu DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten /Kota, Pilkada Gubernur dan wakil gubernur serta pilkada walikota dan wakil walikota.
Keputusan tersebut berdampak atas perpanjangan Anggota DPRD provinsi dan Kabupaten/Kota, karena mengikuti masa pemilu berikutnya kepala daerah di tahun 2031. Hingga perlu di pertanyakan apakah poin perpanjangan dua tahun tersebut tidak melanggar konstitusi UUD pada pasal Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pemilu yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden, serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Pendapat Berbeda
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pemilih Rakyat (JPPR), Rendy N.S. Umboh di kutif dari inilah.com “Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 terkait Pemilu DPRD dipisah dengan jeda 2–2,5 tahun setelah Pemilu 2029, adalah inkonstitusional," ujarnya. Ditegaskan, penyelenggaraan Pemilu DPRD harus tetap dilakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali sesuai Pasal 22E ayat 1 dan 2 UUD 1945.
DPP Partai NasDem di kutif dari detiknews.com menyatakan sikap atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan pemilu nasional dan pemilu daerah. NasDem menyebut putusan MK itu justru melanggar Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Anggota Majelis Tinggi DPP Partai NasDem, Lestari Moerdijat, mengungkap jika putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 ini dijalankan, maka MK dinilai melanggar Pasal 22E UUD 1945 yang menyatakan pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali.
Perspektif perbedaan pandangan atas Keputusan MK atas pemisahan pemilu nasional dan lokal merupakan sebuah diskursus yang menjadi perhatian pemerintah dan pengambil kebijakan dalam rangka merumuskan putusan. Putusan MK bersifat final dan mengikat sebagaimana diamanatkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Bangsa kita pernah mengalami masa pergolakan politik saat era reformasi tahun 1998 berdampak atas kondisi sistem pemerintahan – peralihan kekuasaan pada saat itu. Pemilu tahun 1997 yang lima tahunan yang sudah berlangsung di percepat, karena tuntutan mahasiswa dan pemuda pada masa pergolakan reformasi karena ketidakpercayaan terhadap rezim orde baru (KKN). Pada tahun 1999 di laksanakanlah pemilihan umum dengan sistem multi partai berlangsung dengan secara demokratis jujur dan adil.
Polemik putusan ini mesti segera di tuntaskan oleh pemerintah dan DPR RI dalam rangka memulai era baru design pemilu nasional dan lokal. Pemerintah tidak boleh diam dalam merespon diskursus yang terjadi di luar, harus di wacanakan dalam bentuk yang kokret dalam Menyusun amandemun UUD pemilu dan Pemilihan kepala daerah. Bisa saja di laksanakan kodifikasi UU Pemilu yang sudah lama di wacanakan dan sempat berjalan di periode DPR sebelumnya, karena berimplikasi atas keserentakan rekruitmen penyelenggara pemilu yang pada akhirnya menyesuaikan dengan design alur/ siklus pemilu.