Oleh: Ni'matul Afiah Ummu Fatiya, Pemerhati Kebijakan Publik
TANGERANGNEWS.com-Perebutan Pulau bukanlah kasus yang pertama kali di negeri ini. Dari kasus ini kita semakin merasakan menguaknya aroma kapitalisme.
Beberapa bulan lalu Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah mengeluarkan keputusan yang memancing kemarahan warga, khususnya masyarakat Aceh.
Melalui keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menetapkan 4 Pulau yang selama ini menjadi bagian dari wilayah administrasi kabupaten Aceh Singkil yakni Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang dan Pulau Mangkir Ketek beralih menjadi bagian wilayah Sumatera Utara.
Protes Masyarakat Aceh
Masyarakat Aceh menganggap keputusan Kemendagri tersebut telah mencederai keistimewaan Aceh dan semangat perdamaian yang dibangun sejak Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki 2005 lalu antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Akhirnya Presiden Prabowo Subianto menggelar rapat tertutup pada Selasa (17/6/2025) di Istana, hasilnya keempat pulau itu menjadi milik kabupaten Aceh Singkil.
Polemik Berkepanjangan
Polemik antara pemerintah pusat dan Aceh sebenarnya sudah berlangsung sejak lama, termasuk masalah perebutan kepemilikan pulau ini. Pada tahun 2008, pemerintah pusat melalui Tim nasional Pembaruan Rupa Bumi telah melakukan verifikasi.Tim gabungan yang terdiri dari 8 kementerian itu memetakan 213 pulau di Sumatera Utara, termasuk 4 pulau yang disengketakan ini.
Sementara Aceh hanya berjumlah 260 pulau yang teridentifikasi, tidak termasuk 4 pulau itu.
Pemerintah Aceh bersikeras bahwa keempat pulau itu adalah milik kabupaten Aceh Singkil. Ini berdasarkan pada Surat Kesepakatan Bersama tahun 1992 yang ditandatangani oleh Gubernur Aceh Ibrahim Hasan dan Gubernur Sumut Raja Inal Siregar serta disaksikan oleh Mendagri Rudini waktu itu.
Adanya prasasti penyambutan di pulau Mangkir ketek tahun 2008 dan 2018, kemudian juga dokumen kepemilikan dermaga dan surat tanah dari tahun 1965 menegaskan bahwa pulau-pulau itu telah lama menjadi bagian dari Pemprov Aceh.
Sebelumnya, pada tahun 2009 Gubernur Aceh telah menyampaikan surat konfirmasi untuk 260 pulau dengan mencantumkan perubahan nama untuk Pulau Rangit Besar menjadi Mangkir Besar, Rangit Kecil menjadi Mangkir Kecil, Pulau Malelo menjadi Pulau Lipan, sementara Pulau Panjang tetap dengan nama Pulau Panjang.
Dibalik Perebutan Pulau
Meskipun Kemendagri menyatakan bahwa keputusannya tidak ada unsur politik dan sudah melewati kajian teknis sejak 2008, akan tetapi tetap saja hal ini menimbulkan polemik. Masyarakat Aceh merasa tidak dilibatkan secara penuh dan terbuka.
Banyak pengamat mensinyalir, bahwa motif perebutan pulau ini adalah karena potensi tambang minyak dan gas bumi yang terkandung di dalamnya. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh anggota DPR asal Aceh Muslim Ayub, seperti yang dikutip dari CNN Indonesia, Minggu (15/6/2025).
Fakta perebutan ini bukan sekedar sengketa batas wilayah semata. Lebih dari itu menjelaskan sejauh mana otonomi daerah benar-benar efektif untuk menjalankan roda pemerintahan. Sejauh mana pula pemerintah pusat benar-benar memberikan kekuasaan substantif.
Otonomi daerah adalah sistem yang lahir dari demokrasi sekuler-kapitalis pasca terjadinya revolusi industri dan modernisasi pemerintahan.
Adanya otonomi daerah ini menjadikan masing-masing daerah diberi kewenangan penuh untuk mengatur urusan pemerintahan, termasuk pendapatan daerah.
Namun, otonomi daerah pada praktiknya telah memicu terjadinya perbedaan taraf hidup masyarakat di wilayah yang berbeda. Pada akhirnya menimbulkan kecemburuan sosial satu wilayah terhadap wilayah yang memiliki kekayaan SDA lebih besar dan lebih banyak.
Lebih jauh lagi, otonomi daerah bisa melahirkan bibit-bibit disintegrasi wilayah.
Sentralisasi Solusinya
Banyaknya kekisruhan dalam pelaksanaan otonomi daerah ini, termasuk lahirnya potensi disintegrasi seharusnya membuat pemerintah berfikir ulang. Terlebih sistem demokrasi kapitalis yang diterapkan saat ini lebih mementingkan segelintir orang yang dianggap menguntungkan daripada kepentingan masyarakat secara umum. Mereka bisa dengan mudah mengubah tata aturan dan perundang-undangan kapan saja mereka butuhkan.
Maka solusinya adalah beralih kepada sistem sentralisasi, akan tetapi dalam kerangka syariat Islam, bukan dalam kerangka kapitalisme seperti saat ini.
Syariat Islam telah mengatur masalah pemerintahan, mulai dari pemilihan pejabat atau pemimpin. Faktor ketakwaan individu menjadi poin penting dalam mengangkat pejabat selain kapabilitas.
Adanya perbedaan potensi SDA tidak membuat pemerintah menganakemaskan daerah yang kaya dan menganaktirikan daerah yang miskin. Hal ini pernah dicontohkan oleh Amirul Mukminin Umar bin Khattab ketika menangani musim paceklik yang terjadi di Madinah.
Dalam Islam tidak ada batas -batas teritorial secara permanen. Hal ini karena adanya kewajiban mengemban dakwah ke seluruh penjuru dunia, sehingga batas-batas teritorial itu akan berubah seiring meluasnya wilayah kekuasaan Islam. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan dalam kitab Nizhamul Hukmi fil Islam karya Syekh Abdul Qadim Zallum Rahimahullah.
Selain itu Islam juga memerintahkan umat untuk bersatu dan melarang memecah belah apalagi memisahkan diri atau disintegrasi.
Wallahu a'lam bishshawwab.