Connect With Us

Menuju SDG 2030: Pendidikan Inklusif bagi Masyarakat Adat

Tim TangerangNews.com | Selasa, 4 Januari 2022 | 15:50

Eidelina Maghfirah, Mahasiswi Program Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. (@TangerangNews / Eidelina Maghfirah)

Oleh: Eidelina Maghfirah, Mahasiswi Program Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

TANGERANGNEWS.com-Pendidikan inklusif mempunyai beragam pemahaman dan interpretasi, serta masih terdapat kerancuan pengertian antara pendidikan inklusif dengan pendidikan khusus bagi penyandang cacat. Diasumsikan hanya berlaku bagi anak penyandang cacat, pandangan tersebut sebenarnya keliru lantaran pendidikan inklusif pada hakikatnya ditujukan untuk setiap anak yang memiliki kebutuhan berbeda dalam belajar.

Pendidikan inklusif didefinisikan UNESCO sebagai proses yang berpusat pada berbagai kebutuhan semua anak melalui partisipasi aktif dalam pembelajaran, budaya, dan masyarakat dengan mengurangi pengucilan pendidikan. 

Tujuannya agar seluruh sistem pendidikan memfasilitasi lingkungan belajar di mana guru dan peserta didik menerima dan menyambut tantangan dan manfaat dari keanekaragaman. Dengan adanya pendidikan inklusif, setiap anak dapat memperoleh pendidikan tanpa ada pembeda-bedaan.

Jika merujuk pada UN Declaration on the Rights of Indigeneous People dan ILO Convention Number 169 on The Rights of Indegenous and Tribal Peoples, masyarakat adat pun berhak mendapatkan hak pendidikan. Di Indonesia, masyarakat adat merupakan salah satu kelompok inklusi yang jumlahnya cukup banyak. 

Menurut data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), terdapat kira-kira 17 juta jiwa masyarakat adat yang berada dalam naungan sekitar 2.300 komunitas, sementara Kemensos menyatakan setidaknya terdapat 1,2 juta jiwa yang terhitung sebagai masyarakat adat.

Pengakuan Indonesia terhadap keberadaan masyarakat adat dan perhatian pemerintah akan pentingnya pendidikan bagi mereka tertuang dalam berbagai aturan berupa UU, peraturan menteri, hingga peraturan daerah. Kemudian, adanya Permendikbud No. 67 tahun 2016 memperkuat arah pendidikan bagi masyarakat adat di mana terdapat sebuah aturan terkait pelaksanaan pendidikan layanan khusus untuk masyarakat adat.

Akan tetapi, berbagai pijakan hukum tersebut belum cukup untuk memaksimalkan implementasi. Memang suatu tantangan untuk memasukkan layanan pendidikan ke daerah pedalaman. Menurut Bappenas, kurangnya akses ekonomi, geografis dan budaya menjadikan anak-anak masyarakat adat kurang bisa mengakses pendidikan. 

Sebagian memang sudah dapat mengakses sekolah formal maupun nonformal, seiring dengan program pemerintah yang mengarahkan kebijakannya pada penguatan satuan pendidikan di daerah-daerah terpencil. Namun, menurut laporan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (2019), banyak satuan pendidikan yang belum menjangkau berbagai wilayah pedalaman yang ditinggali masyarakat adat.

Masyarakat Adat dalam Kerangka SDG

Ambisi untuk pendidikan pada dasarnya termaktub dalam Sustainable Development Goals (SDG) ke-empat dari PBB yang bertujuan “memastikan pendidikan berkualitas yang inklusif dan adil serta mempromosikan kesempatan belajar seumur hidup untuk semua”. Dengan prinsip ‘leave no one behind’, masyarakat adat diikutsertakan dalam berbagai target dan indikator SDG. Dalam mendukung target global 2030, yakni menjamin akses setara untuk seluruh tingkat pendidikan dan pelatihan vokasi, masyarakat adat termasuk dianggap sebagai kelompok rentan.

Kerentanan ini tercermin dari realitas kebijakan yang kerap tidak berpihak pada masyarakat adat. Pengakuan masyarakat adat seringkali hanya terbatas dalam pengakuan identitas, belum mencakup pengakuan sumberdaya dan ruang hidup. Mengutip forum yang diadakan Knowledge Sector Initiative dengan Akademi Ilmuwan Indonesia, kepentingan hak hidup masyarakat adat kerap terganjal kepentingan negara dalam mengembangkan kawasan pariwisata sebagai sumber ekonomi. 

Misalnya, klaim hak guna usaha perkebunan sawit menyulitkan masyarakat adat Orang Rimba di Sorolangun, Jambi, untuk mendapatkan wilayah. Hal ini juga dialami oleh masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta di Sumatera Utara akibat penetapan Kawasan Srategis Pariwisata Danau Toba oleh pemerintah.

Padahal, dengan adanya pendidikan layak dan berkualitas, semakin memungkinkan masyarakat adat untuk dapat menjalankan dan menikmati hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Mereka juga semakin mengerti pentingnya hak-hak sipil mereka untuk dapat memengaruhi proses kebijakan politik dalam rangka meningkatkan perlindungan terhadap hak asasi mereka.

Pendidikan Kontekstual

Pendidikan yang dimaksudkan juga harus tetap menjaga dan memelihara kearifan dan budaya lokal masyarakat adat. Dalam mengintegrasikan SDG dengan kewajiban pemenuhan HAM di Indonesia, Komnas HAM menyarankan sebuah peningkatan setting sekolah informal yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat adat. 

Pendidikan yang dimaksudkan perlu memperhatikan keunikan, karakteristik, dan kekhasan masyarakat adat. Menurut Puslitjakdikbud (2019), terdapat tiga tantangan utama dalam penyelenggaraan pendidikan masyarakat adat, yakni standar yang bersifat normatif yang dihadapkan dengan kondisi lokal dengan karakter yang berbeda, kurang dipertimbangkannya modal sosial dan modal budaya masyarakat adat, serta keragaman masyarakat adat dari sisi letak geografis, penerimaan terhadap budaya luar, sistem persekolahan, serta mata pencaharian hidup.

Dari tantangan yang ada, diperlukan sebuah model pendidikan yang dinamis, heterogen, serta tidak anti perubahan. Justru, pendidikan yang ada harus mendukung dan memperkuat jati diri sebagai masyarakat adat. 

Pada akhirnya, pemberdayaan masyarakat adat melalui pendidikan tentu akan memperkuat keseluruhan pendidikan nasional, serta menjadi target pemerintah untuk mendorong pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan berkelanjutan 2030. Peningkatan pendidikan bagi rakyat Indonesia akan memacu pencapaian terhadap tujuan dan sasaran lainnya yang tertuang dalam 17 poin SDG, terutama untuk meningkatkan indeks pembangunan manusia Indonesia, untuk Indonesia yang setara dan berkelanjutan.

TagsOpini
TANGSEL
Pemkot Tangsel Tunggu Kejelasan Pusat Terkait Revisi Aturan soal PSEL

Pemkot Tangsel Tunggu Kejelasan Pusat Terkait Revisi Aturan soal PSEL

Jumat, 24 Oktober 2025 | 18:01

Proyek Pengolahan Sampah Menjadi Energi Listrik (PSEL) di Kota Tangerang Selatan (Tangsel) senilai Rp 2,1 triliun kini menghadapi ketidakpastian regulasi menyusul terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) No 109/2025 yang merevisi Perpres No 35/2018.

TEKNO
9 Cara Kirim WA Blast ke Pelanggan untuk Tingkatkan Penjualan

9 Cara Kirim WA Blast ke Pelanggan untuk Tingkatkan Penjualan

Kamis, 23 Oktober 2025 | 13:04

Memasarkan produk atau layanan di era digital tak lagi sebatas memasang iklan di media sosial. Komunikasi langsung melalui aplikasi pesan seperti WhatsApp menjadi salah satu strategi unggulan untuk membangun kedekatan dengan pelanggan.

BANTEN
 Wagub Banten Tegaskan Truk Tambang Jangan Ganggu Anak Sekolah dan Jam Kerja

Wagub Banten Tegaskan Truk Tambang Jangan Ganggu Anak Sekolah dan Jam Kerja

Jumat, 24 Oktober 2025 | 21:31

Wakil Gubernur Banten Achmad Dimyati Natakusumah, mengeluarkan peringatan keras kepada seluruh perusahaan tambang di wilayahnya, terutama terkait operasional truk angkutan hasil tambang.

WISATA
10 Rekomendasi Kuliner Pesisir Timur Indonesia yang Wajib Dicoba di FKS 2025

10 Rekomendasi Kuliner Pesisir Timur Indonesia yang Wajib Dicoba di FKS 2025

Selasa, 16 September 2025 | 19:15

Festival Kuliner Serpong (FKS) 2025 kembali hadir memanjakan lidah para penggemar kuliner yang berlangsung di Area Parkir Selatan Summarecon Mall Serpong (SMS) Tangerang, selama 28 Agustus hingga 28 September 2025.

""Kekuatan dan perkembangan datang hanya dari usaha dan perjuangan yang terus menerus""

Napoleon Hill