TANGERANGNEWS.com- Pemerintah Rusia menerapkan kebijakan insentif uang tunai bagi perempuan hamil, termasuk mahasiswi dan siswi sekolah, sebagai upaya mendorong angka kelahiran nasional yang terus menurun. Namun, kebijakan ini justru memicu pro dan kontra karena dinilai berisiko mendorong kehamilan remaja.
Sejak Januari 2025, sedikitnya 27 wilayah di Rusia mulai menyalurkan bantuan tunai satu kali kepada perempuan hamil di bawah usia 25 tahun. Di banyak daerah, jumlah yang diterima mencapai 100.000 rubel atau sekitar Rp20 juta. Tiga wilayah yang menjadi sorotan karena memperluas skema ini hingga ke siswi sekolah adalah Oryol, Bryansk, dan Kemerovo.
Di wilayah tersebut, remaja di bawah usia 18 tahun juga berhak menerima insentif, tanpa batas usia minimal.
Langkah ini pun dikritik oleh anggota parlemen Rusia Ksenia Goryacheva. Menurutnya, kepolosan anak-anak seharusnya tidak dijadikan alat memperbaiki statistik demografi
"Ketika seorang anak melahirkan anak, itu bukan heroisme, melainkan tragedi," ujarnya dikutip dari BBC, Sabtu, 3 Mei 2025.
Meski begitu, beberapa pejabat lainnya membela program ini. Gubernur Oryol, Andrey Klychkov menegaskan insentif tersebut sebagai bentuk dukungan kepada warga yang mengalami kondisi sulit dan telah disetujui di tingkat federal.
Sementara Menteri Tenaga Kerja Rusia, Anton Kotyakov mengatakan, program ini sebenarnya bertujuan untuk membantu ibu muda, bukan mendorong kelahiran dini.
Lebih lanjut, tahun 2024 menjadi tahun kelahiran anak paling sedikit dalam 25 tahun terakhir di Rusia, hanya mencapai 1,2 juta jiwa.
Kremlin menyebut situasi ini sebagai bencana bagi masa depan bangsa. Jika tren ini berlanjut, populasi Rusia diperkirakan turun menjadi 139 juta pada 2046, dari 146 juta jiwa di awal 2023.
Sebetulnya, insentif kehamilan bagi perempuan muda ini melengkapi program sebelumnya, yakni "modal bersalin" yang diberikan sejak 2007.
Bantuan itu awalnya diberikan untuk anak kedua, lalu diperluas untuk anak pertama. Besarannya mencapai 690.000 rubel (sekitar Rp140 juta) untuk anak pertama dan 222.000 rubel (sekitar Rp45 juta) untuk anak kedua.
Namun para ahli demografi meragukan efektivitas insentif semacam ini dalam jangka panjang.
Demografer Rusia Alexey Raksha menyebutkan, lonjakan kelahiran akibat bantuan keuangan biasanya hanya bersifat sementara.
Profesor John Ermisch dari Universitas Oxford menegaskan, keamanan finansial jangka panjang lebih menentukan keputusan seseorang untuk memiliki anak ketimbang insentif uang.
Menurutnya, negara-negara maju seperti Inggris dan AS, kebijakan justru berfokus pada pengurangan kehamilan remaja karena dinilai membawa dampak sosial dan kesehatan yang buruk, berbeda dengan arah kebijakan Rusia saat ini.