Connect With Us

Menggugat "Gampang" di Tangerang Antara Kewajiban dan Ilusi Prestasi

Rangga Agung Zuliansyah | Jumat, 4 Juli 2025 | 19:32

Khikmawanto, Direktur Eksekutif Renaissance Institute dan Dosen Universitas Yuppentek Indonesia. (@TangerangNews / Rangga Agung Zuliansyah)

Oleh: Khikmawanto, Direktur Eksekutif Renaissance Institue dan Pengajar di Universitas Yuppentek Indonesia

 

TANGERANGNEWS.com-Pemerintah Kota Tangerang secara gencar menggaungkan trilogi programnya: Gampang Sembako, Gampang Kerja, dan Gampang Sekolah. Narasi "kemudahan" ini, pada pandangan pertama, mungkin tampak sebagai cerminan kepedulian dan inovasi pemerintah daerah yang patut diacungi jempol. Namun, sebagai pengamat politik pemerintahan, saya berpandangan bahwa klaim "gampang" yang ditawarkan ini perlu dikritisi secara fundamental.

Bukankah memastikan akses terhadap kebutuhan pokok, lapangan pekerjaan yang layak, dan pendidikan berkualitas adalah tanggung jawab konstitusional dan moral pemerintah yang melekat, bahkan tanpa perlu dibingkai dengan frasa yang cenderung mereduksi esensi hak warga negara?

Esai ini akan membedah bagaimana klaim "gampang" berpotensi menggeser fokus dari akuntabilitas pemerintah dan menafikan hak dasar warga. Lebih dari itu, narasi tersebut patut dipertanyakan apakah hanyalah sebuah strategi politik untuk mengemas kewajiban sebagai prestasi.

 

Reposisi Tanggung Jawab Negara dalam Negara Kesejahteraan

Konsep "gampang" yang diusung Pemerintah Kota Tangerang, meski terdengar progresif dan berpihak pada rakyat, sejatinya menyimpan persoalan mendasar dalam perspektif tata kelola pemerintahan dan hak-hak warga negara. Ketika pemerintah mengklaim membuat sesuatu "gampang", seolah-olah sebelumnya hal tersebut sulit, ada asumsi implisit bahwa pemerintah sedang memberikan sebuah anugerah, bukan sekadar menjalankan kewajiban. Ini adalah titik krusial yang harus kita telaah.

Dalam negara demokrasi konstitusional, akses terhadap kebutuhan dasar seperti pangan, pekerjaan, dan pendidikan bukanlah "kemudahan" atau "hadiah" dari penguasa, melainkan hak asasi setiap warga negara yang dijamin oleh konstitusi. Undang-Undang Dasar 1945 secara eksplisit mengamanatkan negara untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Oleh karena itu, penyediaan sembako, fasilitasi pekerjaan, dan akses pendidikan adalah mandat konstitusional yang melekat pada setiap level pemerintahan, termasuk pemerintah daerah. Mengemas mandat ini dengan label "gampang" berpotensi mereduksi makna hak warga menjadi sekadar objek belas kasihan atau keberhasilan program semata.

Fenomena ini mengingatkan kita pada kritik terhadap populisme dan paternalisme politik, di mana pemerintah sering kali memposisikan diri sebagai "dermawan" yang memberikan bantuan, alih-alih sebagai pelayan publik yang memenuhi hak-hak dasar. Hal ini dapat berujung pada terciptanya 

 

Mengukur Efektivitas Kebijakan Publik, Lebih dari Sekadar Slogan

Efektivitas sebuah kebijakan publik tidak hanya diukur dari popularitas slogannya, melainkan dari sejauh mana program tersebut mampu mengatasi akar masalah dan menghasilkan dampak berkelanjutan bagi masyarakat. Klaim "gampang" yang digaungkan Pemerintah Kota Tangerang menimbulkan pertanyaan serius tentang kedalaman intervensi kebijakan yang dilakukan. Ambil contoh program Gampang Kerja. Ini adalah respons pemerintah daerah terhadap tingginya pengangguran, yang mencerminkan pergeseran menuju intervensi negara yang lebih proaktif terhadap kegagalan pasar. Namun, "menggampangkan" pekerjaan itu sendiri adalah klaim yang menuntut analisis lebih mendalam.

Apakah Pemerintah Kota Tangerang telah secara akurat mengidentifikasi kesenjangan keterampilan (skill mismatch) atau hambatan regulasi yang mempersulit pembukaan lapangan kerja baru? Sekadar mengadakan job fair belaka, tanpa disertai upaya peningkatan kualitas calon pekerja secara berkelanjutan atau penyesuaian kurikulum pendidikan vokasi dengan kebutuhan industri, hanya akan menjadi seremonial belaka. Banyak job fair yang diadakan hanya menjadi ajang bertemu antara pencari kerja dan perusahaan, tanpa jaminan penyerapan yang signifikan atau relevansi dengan kompetensi yang dibutuhkan. Pemerintah harus melangkah lebih jauh dari sekadar fasilitasi pertemuan.

Demikian pula dengan Gampang Sekolah. Narasi ini menyentuh salah satu hak dasar manusia yang paling fundamental dan diamanatkan konstitusi. Mengklaim "menggampangkan" akses pendidikan seolah-olah sebelumnya pendidikan itu sulit diakses, adalah narasi yang patut dipertanyakan. Pemerintah daerah memang memiliki otonomi lebih besar dalam pengelolaan pendidikan melalui kerangka desentralisasi (UU No. 23 Tahun 2014), namun otonomi ini datang dengan tanggung jawab yang jauh lebih besar untuk menjamin kualitas dan pemerataan pendidikan.

Konsep human capital development (Schultz, 1961; Becker, 1964) secara tegas menyatakan bahwa investasi pada pendidikan adalah kunci bagi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial. Tantangan sesungguhnya terletak pada perbaikan kualitas guru, penyediaan sarana dan prasarana sekolah yang memadai, serta mengatasi disparitas kualitas antarsekolah. Jika siswa masuk sekolah dengan kondisi guru yang kurang kompeten, fasilitas belajar yang minim, atau kurikulum yang tidak relevan, maka narasi "gampang sekolah" hanya sebatas retorika yang menutupi pekerjaan rumah yang jauh lebih besar.

Dari perspektif ekonomi politik, penting untuk mempertanyakan apakah program "Gampang Sembako" benar-benar mengatasi akar masalah kemiskinan dan kerawanan pangan, atau hanya berfungsi sebagai solusi instan (band-aid solution) yang bersifat sementara tanpa menyentuh aspek struktural seperti peningkatan daya beli masyarakat atau stabilitas harga.

 

Akuntabilitas dan Tata Kelola Inklusif, Pilar Utama Pemerintahan

Pemerintahan yang baik tidak hanya diukur dari seberapa banyak program yang diluncurkan, tetapi juga dari seberapa akuntabel pemerintah dalam menjalankannya dan seberapa inklusif tata kelola yang dibangun. Klaim "gampang" berpotensi menggeser fokus dari tuntutan akuntabilitas, transparansi, dan efisiensi yang seharusnya menjadi inti dari setiap kebijakan publik.

Dalam konteks program seperti trilogi "Gampang", potensi politisasi bantuan sosial adalah risiko nyata. Ketika program kesejahteraan atau fasilitasi ekonomi dipersonalisasi sebagai "pemberian" dari kepala daerah, alih-alih hak warga, ini dapat menciptakan pola hubungan patron-klien yang merugikan dalam demokrasi elektoral. Robert Gilpin, dalam "The Political Economy of International Relations" (2001), menyoroti bagaimana intervensi negara dalam pasar dapat digunakan untuk tujuan politik. Akibatnya, alih-alih mendorong warga untuk mandiri dan memiliki akses yang setara terhadap peluang ekonomi, program ini berpotensi mempertahankan mereka dalam siklus ketergantungan politik.

Keberhasilan sejati dalam bidang ketenagakerjaan dan pendidikan, misalnya, memerlukan konsep governance networks (Rhodes, 1997), yakni kolaborasi efektif antara pemerintah daerah, sektor swasta, lembaga pendidikan vokasi, serikat pekerja, dan organisasi masyarakat sipil. Tanpa mekanisme partisipasi yang inklusif dan responsif terhadap dinamika ekonomi lokal, atau tanpa melibatkan semua pemangku kepentingan dalam perumusan dan implementasi kebijakan pendidikan, klaim "gampang" bisa jadi menutupi tantangan kompleks dalam membangun ekosistem yang partisipatif dan adaptif. Ini adalah tentang memastikan bahwa kebijakan publik tidak hanya dirancang oleh pemerintah, tetapi juga direspons dan diawasi oleh masyarakat sipil.

 

Menuntut Hak, Bukan Sekadar Kemudahan

Pada akhirnya, trilogi "Gampang" Kota Tangerang, meskipun terdengar progresif, sejatinya menyoroti esensi tanggung jawab pemerintahan yang tidak boleh direduksi menjadi klaim "kemudahan" semata. Pemerintah tidak sedang memberikan anugerah, melainkan sedang menjalankan mandat konstitusionalnya. Sebagaimana ditegaskan oleh Robert Dahl dalam "Polyarchy: Participation and Opposition" (1971), legitimasi kekuasaan demokratis sangat bergantung pada responsivitas pemerintah terhadap preferensi dan kebutuhan warga, serta kemampuan untuk dimintai pertanggungjawaban.

Oleh karena itu, sebagai warga negara yang berdaulat, kita dituntut untuk tidak hanya sekadar menerima narasi "gampang" ini. Sebaliknya, kita harus secara kritis mempertanyakan: apakah program-program tersebut benar-benar efektif dan berkelanjutan dalam menyelesaikan masalah-masalah dasar masyarakat, atau justru menutupi pekerjaan rumah yang jauh lebih besar? Apakah "kemudahan" yang ditawarkan hanya sebatas permukaan, tanpa menyentuh akar masalah dan memastikan hak-hak dasar terpenuhi secara fundamental?

Ini adalah saatnya bagi kita untuk menuntut akuntabilitas sejati dari pemerintah. Akuntabilitas yang tidak hanya berhenti pada laporan keuangan atau jumlah program, tetapi juga pada dampak nyata terhadap kualitas hidup warga. Memastikan setiap kebijakan publik berakar pada hak warga negara dan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), yang mencakup transparansi, partisipasi, efisiensi, dan supremasi hukum. Bukan sekadar retorika "kemudahan" yang mereduksi esensi kewajiban konstitusional dan potensi partisipasi kritis dari masyarakat. Warga Kota Tangerang, dan kita semua, berhak menuntut lebih dari sekadar "kemudahan" yang sudah menjadi hak mereka sejak awal, melainkan jaminan bahwa pemerintah adalah pelayan yang menjalankan amanah konstitusi dengan penuh tanggung jawab.

AYO! TANGERANG CERDAS
Cara Dapat Bantuan PIP 2025 untuk Siswa SD hingga SMA, Segini Besarannya 

Cara Dapat Bantuan PIP 2025 untuk Siswa SD hingga SMA, Segini Besarannya 

Senin, 30 Juni 2025 | 11:49

Program Indonesia Pintar (PIP) ialah bantuan biaya pendidikan dari pemerintah yang ditujukan untuk siswa dari keluarga kurang mampu agar dapat menyelesaikan pendidikan 12 tahun.

TANGSEL
Sinar Mas Land Kukuhkan Komitmen Pendidikan Inklusif Melalui Pelepasan Siswa PAUD Do & Learn di BSD City

Sinar Mas Land Kukuhkan Komitmen Pendidikan Inklusif Melalui Pelepasan Siswa PAUD Do & Learn di BSD City

Jumat, 4 Juli 2025 | 21:15

Sebagai bentuk komitmen terhadap pengembangan pendidikan usia dini yang inklusif, Sinar Mas Land kembali menyelenggarakan kegiatan Pelepasan Siswa Pendidikan Anak Setingkat PAUD (PASP) Do & Learn.

BISNIS
138 Tahun Berdiri Del Monte Foods Dinyatakan Bangkrut, Begini Nasib Produknya di Indonesia

138 Tahun Berdiri Del Monte Foods Dinyatakan Bangkrut, Begini Nasib Produknya di Indonesia

Jumat, 4 Juli 2025 | 12:22

Del Monte Foods, perusahaan makanan kaleng asal Amerika Serikat yang telah berdiri selama 138 tahun, resmi mengajukan kebangkrutan. Keputusan ini mengejutkan banyak pihak

BANDARA
Polisi Tangkap 11 Penyalur Pekerja Migran Ilegal di Bandara Soetta, Korbannya 340 Orang

Polisi Tangkap 11 Penyalur Pekerja Migran Ilegal di Bandara Soetta, Korbannya 340 Orang

Kamis, 3 Juli 2025 | 19:52

Polisi Bandara Soekarno-Hatta (Soetta) mengamankan 11 orang tersangka dugaan kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), yang menyalurkan pekerja migran Indonesia secara non prosedural atau ilegal.

""Kekuatan dan perkembangan datang hanya dari usaha dan perjuangan yang terus menerus""

Napoleon Hill